Beberapa Masalah Pendidikan


Fresh or Press

Kita dapat melihat sirkulasi pendidikan kita dan bagi kita yang sudah duduk di jenjang perguruan tinggi, kita pasti sudah merasakan bagaimana yang disebut dengan PR. Pekerjaan rumah atau sering kita sebut PR dalam bahasa Inggris "homework" adalah suatu tanggung jawab kita sebagai anak didik dari guru, dosen, atau pun pembimbing. Kita bukan menyatakan ini sebagai masalah, tapi berdasarkan pengamatan profesor di universitas* ini adalah suatu beban bagi kita sebagai pelajar di sekolah maupun di perguruan tinggi. Dan bukan ingin menyangkal diri bahwa kita tidak menginginkan PR. Benar adalah sebagai suatu ajang untuk mengasah kemampuan diri, namun jika kita melihat bahwa dalam belajar peserta didik tidak enjoy terhadap pembelajaran. Dan seakan-akan PR tersebut menjadi tekanan bagi kita, karena setelah mengikuti pembelajaran selama satu minggu kita dibebankan berbagai macam bentuk tugas mulai humaniora sampai sains, terkhususnya pada pendidikan dasar dan menengah. Ujung-ujungnya kita anggap sebagai momok yang menakutkan beserta guru yang mengajar. Bahkan waktu kita untuk bersantai terpakai untuk mengerjakan tugas-tugas yang tidak kita mengerti. Dosen saya profesor bercerita, dia baru pulang dari Umroh dan singgah di Mesir, dia bertemu dengan salah satu mahasiswa yang mengambil Program S3 di Mesir dan Saudi Arabia, dia mengenali wajahnya, ternyata memang orang Indonesia, asal Bali, dan wajahnya begitu cerah dan terlihat lebih muda, tidak seperti kebanyakan mahasiswa S3 yang ada di Indonesia yang wajahnya begitu berat. Dan setelah diajak ngobrol ternyata di sana juga, setelah memasuki sekolah-sekolah tidak ada yang dinamakan PR. Suatu hal yang mengejutkan memang bagi kita. Tetapi, diminta agar ada suatu produk baru yang mereka temukan, baik itu bercerita di depan kelas, sangat sederhana, sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga dengan negara maju Firlandia yang lebih maju dari Amerika, tidak ada yang dinamakan PR, tetapi pengembangan diri dengan produk baru. Jadi, pada intinya kalau pendidikan di Indonesia adalah "press" dan di luar negeri "fresh".

Permasalahan yang kedua adalah terkait bermain game. Awalnya memang baik, bahwa bermain game itu adalah untuk refreshing diri dari kelelahan-kelalahan mengikuti kegiatan belajar satu harian. Namun, kalau sudah menjadi candu dalam bermain game tersebut akan mengakibatkan terganggunya mental peserta didik.

Permasalahan ketiga adalah standarisasi pendidikan dari Sabang sampai Merauke. Hal ini tentu menjadi point tersulit bagi kita semua. Karena jika dibandingkan antara peserta didik di Papua dan di Jakarta sudah berbeda. Jika di Papua, anak-anak harus menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam, dan tiba di sekolah guru sudah tidak ada. Dan kembali lagi ke rumah selama 6 jam, sudah malam dan tidur. Apa yang didapatkan ? Nothing. Hanya lelahnya saja yang didapatkan anak didik, yang naik turun gunung. Tentunya sulit untuk menyamakan standar pendidikan di Indonesia. Jika standarisasi dalam bentuk UN untuk kelulusan di tiap jenjang pendidikan, dan 100% lulus, maka kita dapat mengatakan bahwa pemerintah membuat suatu kebohongan tentang pendidikan melalui standarisasi pendidikan kita. Kita menutupi kebobrokan bangsa kita sendiri.

Adakah kita menjadikan anak bangsa sebagai pemimpin secara khusus? Sama seperti cerita profesor ketika dia bertemu orang Indonesia yang pintar-pintar dipakai sebagai pemimpin di luar negeri. Kalau kita melihat bahwa Bapak Habibie yang pernah menjadi presiden di Indonesia tidak disukai oleh orang Indonesia, padahal dia adalah hasil tempaan yang begitu luar biasa, dengab produknya yang bisa memperkenalkan ke luar Indonesia. Pada akhirnya, orang Indonesia seperti Bapak Habibie dan anak-anaknya lebih sering dipakai oleh orang Jerman, dimana IQ nya bisa mencapai 255.

Jadi, dalam kesadaran berpendidikan sudah sepatutnya kita sebagai dalam menerapkan pendidikan berdasarkan Landasan Pendidikan yang baik itu bagaimana. Bukannya kita mengatakan hanya banyak cerita sebagai mahasiswa, tetapi itulah yang dirasakan ketika kita menempuh setiap jenjang pendidikan. Sistem pendidikan yang salah, kebohongan-kebohongan, kecurangan banyak terjadi di Indonesia. Kalau dari segi pendidikan yang pada hakikinya adalah membentuk moral anak-anak bangsa terjadi suatu kebohongan dan kecurangan, bagaimana untuk pengembangan di bidang lainnya. Setidaknya kita tidak menjadikan anak didik itu "fresh" dan bukan "press".

Jakarta, 12 Juni 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini